Rabu Abu

RABU ABU
Sdr. Marselinus Limbong

Rabu abu tahun ini jatuh pada tanggal 14 Februari (Valentine). Rabu abu adalah permulaan masa prapaskah. Pada rabu abu ini, kita akan ditandai dengan abu pada dahi kita. Petugas liturgi akan memberi kita sebuah tanda salib pada dahi dengan mengoleskan abu seraya berkata: bertobatlah dan percaya kepada injil.

    Penandaan diri kita dengan abu mengingatkan kita pada asal kita ketika Allah mencipta manusia. Allah mencipta manusia seraya berfirman “ingat, Engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu (kej. 3:19). 

    Praktek penggunaan abu banyak kita jumpai dalam kitab suci perjanjian lama. Abu melambangkan ungkapan kesedihan, penyesalan atas dosa yang dilakukan, dan juga pertobatan yang mendalam. Seperti dalam kitab Ester dikatakan bahwa Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Kitab Ayub juga menyatakan sesalnya dengan duduk diatas abu. Juga dalam kitab Daniel, ia berdoa dan memohon kepada Allah sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu pada kepala.

    Abu dikenakan sebagai permulaan masa prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari menyambut paskah. Abu di

masukkan dalam ritus liturgi melambangkan sesal kita atas dosa-dosa terutama selama masa prapaskah. Selain itu, abu juga mengingatkan kita akan ketidakabadian, kerapuhan dan ketidaklayakan kita dihadapan Allah.

    Abu yang kita gunakan adalah abu sisa pembakaran daun palem yang telah diberkati pada hari minggu palma tahun sesudahnya. Abu ini tidak asal abu tetapi abu dari pembakaran daun palem. Abu ini akan dioleskan pada dahi kita dengan bentuk salib. Bentuk salib ini mengingatkan kita akan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus kristus. Kita ambil bagian dalam peristiwa yang berahmat itu. Kita mati oleh karena dosa-dosa kita dan dibangkitkan oleh karena kebangkitan Kristus.