Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga

Makna Kematian Seorang Muda Yang Saleh

MAKNA KEMATIAN SEORANG MUDA YANG SALEH
MENURUT KITAB KEB 4:7-19.

Sdr. Hendrik Jonan

1.    Pengantar
Manusia yang beriman akan Allah tidak dapat menyangkal bahwa pengalaman hidup dan menikmati hidup di dunia dalam waktu yang lama dilihat sebagai sebuah berkat dan kasih dari Allah. Karunia Allah yang dialami manusia semacam ini menghantar manusia pada iman bahwa Allah itu penuh cinta, kasih dan adil. Pengalaman ini mendorong manusia untuk selalu percaya dan beriman kepada Allah. Pengalaman ini juga mendorong sikap setia dan syukur dari pihak manusia. Akan tetapi sikap setia dan syukur kepada Allah digugat dan bahkan dipertanyakan oleh manusia bila hidup manusia itu justru dialami secara terbalik. Sebagai contoh, Seorang pemuda yang masih sangat muda belia secara tidak disangka meninggal pada usia muda. Dia dikenal sebagai seorang pemuda yang baik dan saleh dalam hidup bermoral dan beragama. Bukan hanya itu, beberapa waktu sebelumnya dia mendapat gelar Cum Laude di hari wisudanya. Bahkan sebelum wisuda dia sudah ditawari dan dijanjikan oleh sebuah perusahaan sebagai pekerja dengan gaji yang mahal. Akan tetapi semua itu seakan sirna. Sehari sebelum memulai kerja di sebuah perusahaan, secara tiba-tiba dia meninggal. Dia yang adalah seorang yang sopan, baik, berbakat dan berpotensi besar justru mengalami kematian pada usia muda. Situasi ini tentu menyisakan duka mendalam bagi keluarganya. Mereka mempertanyakan keadilan Allah. Dalam situasi ini, sebagai seorang imam yang diundang untuk mempersembahkan Misa Requiem, paham iman macam apa yang bersumber dari Kitab Suci yang harus dikhotbahkan untuk menghibur dan meneguhkan iman keluarga yang ditinggalkan. Dalam artikel ini, dicoba diketengahkan sebuah pemahaman tentang makna mati muda bagi seorang saleh menurut kitab Kebijaksanaan salomo. Hal itu dapat kita temukan dalam Keb 4:7-19. Setidaknya perikop ini memberikan sebuah jawaban iman atas pertanyaan mengapa seorang saleh dan takwa itu justru harus mati pada usia mudanya.

2.    Perkembangan Ide Tentang Kematian
Sebelum abad ke-2 SM, Bangsa Israel meyakini bahwa Syeol menjadi tempat satu-satunya bagi orang yang telah meninggal. Dikatakan bahwa semua orang mati, baik itu orang baik maupun orang jahat, kaya dan miskin, tua dan muda akan pergi dan mendiami Syeol untuk selama-lamanya. Orang yang telah meninggal tidak akan mengalami kehidupan abadi. Hal ini didukung kuat oleh ide tentang pembalasan di bumi, di mana semua hal yang berkaitan dengan ganjaran dan hukuman dari Allah harus ditempatkan dalam rangka hidup di bumi selagi manusia masih hidup. Semuanya dihubungkan dengan konteks hidup sekarang ini di bumi. Baik itu ganjaran atas orang saleh maupun hukuman atas orang jahat semuanya dihubungkan dengan konteks selagi manusia hidup di bumi ini. Orang saleh akan diganjari Allah dengan kesejahteraan, kemakmuran dan umur panjang selama hidup di dunia ini. Sedangkan seorang penjahat akan mendapatkan hukuman berupa kemalangan dan nasib buruk selama mereka hidup. Demikian juga halnya dengan kematian pada umur muda dipandang sebagai sebuah hukuman berat dari Allah karena dosa.

Hal ini juga berkaitan erat dengan ide tentang keadilan Allah sebagai satu-satunya pegangan. Orang memegang erat keyakinan bahwa atas dasar keadilan-Nya Allah terpaksa mengganjar yang baik dan menghukum serta menyiksa yang jahat. Jika hal ini tidak terjadi atau ganjaran dan hukuman itu datang terlambat maka keyakinan akan Allah yang adil atau sikap peduli dari Allah akan hilang. Hal ini tentu menyebabkan ateisme praktis bagi kebanyakan orang. Konsep ini sedemikian lama hidup dan sangat mempengaruhi kehidupan mereka.

Akan tetapi, memasuki abad ke-2 SM, muncul sebuah refleksi baru atas sebuah realitas kematian. Refleksi ini muncul atas pengalaman penganiayaan atas bangsa Israel oleh Raja Antiokhus IV Epifanes pada tahun 175 sampai tahun 164 SM. Pada waktu itu justru banyak orang yang setia dan takwa kepada Allahlah yang mengalami penyiksaan dan kematian. Apabila peristiwa ini dilihat sebagai sebuah hukuman dari Allah dan bila itu merupakan satu-satunya jawaban tentu dapat mempertanyakan sikap adil dan peduli dari Allah.

Hal ini bisa melahirkan ateisme praktis dari para penganut yudaisme. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa ajaran lama mengenai pembalasan di bumi tidak bisa dipertahankan lagi. Sejak saat itu muncul keyakinan iman bahwa sesudah hidup saat ini di bumi akan ada hidup yang lain di mana pembalasan dan keadilan Allah terjamin. Hidup di dunia ini dipandang sebagai sebuah fase persiapan menuju hidup yang sesungguhnya, yakni hidup di akhirat dan nilai hidup yang berkualitas di dunia ini sangat menentukan hidup sesudah mati. Kematian juga dipandang sebagai sebuah pintu menuju keadaan lain, entah itu kebahagiaan bersama Allah atau sebuah siksaan hidup jauh dari Allah.

3.    Arti Kematian Seorang Muda Saleh Menurut Kebijaksanaan Salomo
    Keb 4: 7-19 memberi jawaban mengapa orang saleh mati justru pada umur muda. Meski paham pembalasan di bumi mengakui bahwa umur panjang dipandang sebagai ganjaran dan hadiah istimewa dari Allah atas orang saleh dan baik. Akan tetapi tidak jarang bahwa karunia umur panjang tidak diperoleh oleh orang baik. Orang jahat justru mendapatkan umur panjang dalam hidupnya. Realitas ini sering dipakai oleh orang murtad untuk menolak agamanya. Akan tetapi keyakinan baru mengenai hidup di akhirat memberi solusi atas persoalan ini. Satu-satunya hal penting bagi manusia adalah hidup terhormat dan kualitas hidup jauh lebih diutamakan ketimbang lamanya tahun hidup (Keb 4:7-9).  

    Kematian seorang muda saleh merupakan sebuah hadiah dari Tuhan, sebab kematian itu memberikan istirahat kekal kepadanya (ayat 7) dan dengan kematian itu ia dibebaskan dari bahaya dan godaan dari dunia jahat (ayat 10-12). Dengan kematian itu seorang muda saleh, Tuhan telah memberi kemungkinan baginya untuk dalam waktu pendek mencapai kesempurnaan usia panjang (ayat 13-15). Meskipun seorang muda saleh telah beristirahat sebelum waktunya, ia telah memiliki nilai hidup dalam waktu yang pendek itu. Nilai itu adalah pengertian dan hidup tak bercela dan orang muda sudah memperolehnya. Karena ia telah mengalami hidup dalam kesempurnaan sebagai orang yang takut akan Tuhan dan kesempurnaan itu sudah cukup. Ia dipindahkan dan disentak oleh Allah, sehingga ia bebas dari bahaya yang disebabkan oleh orang berdosa yang dengan kejahatan dan bujukan bisa melenyapkan hikmat yang telah ia miliki. Karena ia telah berkenan kepada Allah, maka orang muda dipindahkan dari tengah dunia orang jahat. Kematian dipandang sebagai upaya Allah untuk melindungi orang muda dari tipu daya dan bujukan untuk berbuat dosa. Ide ini dapat kita baca dalam Keb 4: 7-11.

Meskipun umur hidupnya terasa pendek, orang muda saleh sudah mencapai apa yang biasanya baru diperoleh setelah bertahun-tahun hidup di dunia ini. Oleh karena itu seorang muda saleh telah mencapai tujuan hidupnya yakni hidup dalam kesalehan dan takwa kepada Allah. Hal ini sudah cukup baginya dan ia sudah layak untuk beralih kepada kehidupan yang sebenarnya yakni kehidupan kekal.

    Menurut kesaksian alkitabiah, satu tanda bahwa seseorang dikasihi Tuhan adalah jika kepadanya diberi umur yang panjang. Orang-orang yang tidak memahami arti kematian orang muda saleh tentu tidak mampu melihat semuanya itu sebagai sebuah bukti kasih dari Allah. Hanya orang yang melihat dalam terang imanlah yang mampu melihatnya sebagai sebuah bukti kasih setia dan belas kasih Tuhan, karena orang muda saleh itu mengalami perlindungan Allah. Dengan demikian apa yang dalam pandangan tradisional dipandang karunia (kehidupan dan umur panjang) dan hukuman karena meninggal pada usia muda, kini betukar tempat atau dibalikkan. Mati muda seorang saleh mengkritik dengan amat jelas atas umur panjang yang dialami orang fasik dan lalim. Orang fasik melihat kenyataan kematian tanpa iman dan mereka tidak mampu memahami apa maksud Allah di balik pengalaman orang saleh yang mati muda.

    Sikap orang fasik dan penilaianya yang keliru terhadap nasib orang saleh yang mati muda yang menghina dan memandang celaka atas orang saleh itu, hanya menjadi bahan tertawaan dari pihak Allah. Sebaliknya orang fasik walaupun hidup dalam usia yang panjang, akan tiba saatnya mengalami sebuah pengalaman yang membinasakan setelah ia meninggal. Ia sama sekali tidak mengalami istirahat dan damai seperti orang saleh yang mati muda.  Bahkan orang fasik akan kehilangan kenangan kebaikan dan orang tidak pernah mengingatnya sebagai seorang yang baik.

4.    Penutup
Sebagai orang Kristen kita percaya, dan kita tahu, bahwa kematian bukan akhir dari suatu keberadaan atau kehidupan, namun hal itu tetap merupakan suatu perpisahan dari orang-orang disekitar kita pada masa hidup. Itu adalah akhir dari suatu hubungan yang mempunyai arti istimewa bagi kita dalam kenidupan ini. Langkah pertama dalam memperoleh perspektif yang tepat ialah dengan mengakui bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukan maut dan kematian. Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian merupakan suatu sumber rasa aman, optimisme, dan pemulihan rohani bagi seseorang (1 Yohanes 3:2).

Tidak ada suatu pun yang menawarkan lebih banyak kekuatan dan dorongan dari pada keyakinan bahwa ada suatu kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang menggunakan masa sekarang untuk mempersiapkan hidup dalam kekekalan. Bila Anda yakin pada bukti adanya kehidupan setelah kematian, ingatlah Alkitab berkata bahwa Kristus mati untuk melunasi hutang-hutang dosa kita, dan bahwa semua orang yang percaya kepadaNya akan menerima karunia pengampunan dan kehidupan kekal. Keselamatan yang ditawarkan kristus bukanlah upah untuk usaha kita, tetapi suatu anugerah bagi mereka yang melalui bukti-bukti tersebut, percaya kepadaNya.

DAFTAR PUSTAKA
Leon, Xavier-Dufour, Ensiklopedi Perjajian Baru. Judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament, diterjemahkan oleh Stefan Leks dan A.S. Hadiwiyata, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Rybolt, E, John, “Kebijaksaan”, dalam Dianne Bergant – Robert J. Karris, (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Judul asli: The Collegeville Bible Commentary, diterjemahkan oleh A. S. Hadiwiyata Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Weiden, Wim van der, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisisus, 1995
   
Share this post :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015-2024. Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Posting